A. Pendahuluan
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang
untuk menilai perbuatan- perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan
demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Diatur dalam Statuta
Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang
no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma,
definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa
serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.
Selain itu
ada juga beberapa definisi tentang kejahatan menurut para ahli, diantaranya :
1. Menurut B. Simandjuntak, kejahatan merupakan suatu tindakan
anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat
menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
2. Menurut Van Bammelen, kejahatan adalah tiap kelakuan yang
bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak
ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak
untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk
nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
3. Menurut R. Soesilo, ia membedakan pengertian kejahatan
secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi
yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang
bertentangan dengan undang- undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang
dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain
merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya
keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
4. Menurut J.M. Bemmelem, ia memandang kejahatan sebagai suatu
tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam
masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan
masyarakat, negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.
5. Menurut M.A. Elliot, ia mengatakan bahwa kejahatan adalah
suatu problem dalam masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar
hukum dapat dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan
seterusnya.
6. Menurut W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah
perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari
negara berupa pemberian penderitaan.
7. Menurut Paul Moedikdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan
pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat
sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan
(negara bertindak).
Perkembangan
dan peningkatan kejahatan disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang
terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan
yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan
waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan
penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat,
memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat
dan substansi di dalamnya.
B. Klasifikasi Kejahatan
Dalam menjelaskan
latar belakang terjadinya kejahatan, Ada empat pendekatan untuk menjelaskannya, yaitu :
1. Pendekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang
mencoba menjelaskan sebab atau sumber kejahatan berdasarkan faktor-faktor dan
proses biologis.
2. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar
hukum memberi respons terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta
masalah-masalah kepribadian yang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.
3. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan
dalam hubungannya dengan proses-proses dan
struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang secara khusus
dikaitkan dengan unsur-unsur di dalam sistem budaya.
4. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan
tipologi penjahat dalam hubungannya dengan peranan sosial pelanggar hukum,
tingkat identifikasi dengan kejahatan, konsepsi diri, pola persekutuan dengan
orang lain yang penjahat atau yang bukan penjahat, kesinambungan dan
peningkatan kualitas kejahatan, cara melakukan dan hubungan perilaku dengan
unsur-unsur kepribadian serta sejauh mana kejahatan merupakan bagian dari
kehidupan seseorang.
Menurut Marshall B.
Clinard dan Richard Quinney membagi
bentuk kejahatan menjadi memberikan 8 tipe, yaitu :
1) Kejahatan
perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminil
seperti pembunuhan dan perkosaan. Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai
penjahat dan seringkali belum pemah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya,
melainkan karena keadaan-keadaan
tertentu yang memaksa mereka melakukannya.
2) Kejahatan
terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk kedalamnya antara
lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya
sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.
3) Kejahatan yang
dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan
oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai
penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari
pekerjaan sehari-hari.
4) Kejahatan
politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase dan sebagainya. Pelaku
melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegal itu sangat
penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat.
5) Kejahatan
terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat
apabila mereka terus-menerus
ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial
terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas.
6) Kejahatan
konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian
terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time-Carreer atau
pekerjaan sampingan dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan.
Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam
hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai kepemilikan
pribadi telah dilanggar.
7) Kejahatan
terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian
terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebagainya. Pelaku yang berasal
dari tingkat jabatan kelas bawah
memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan
kelompok-kelompok penjahat, yang
juga terasing
dari masyarakat luas, sedangkan
tingkat jabatan kelas atas tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan
bahkan seringkali bertempat tinggal di lingkungan masyarakat pada umumnya.
8) Kejahatan
profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka memandang
diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain serta
mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka cenderung terasing dari
masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap
kejahatan ini tidak selalu keras.
C. Teori Kejahatan
Dalam
memahami kejahatan sekarang ini, Kriminologi Modern menjelaskan tiga teori
tentang kejahatan, antara lain :
1) Teori Struktur Sosial
Para pakar
kriminolog meyakini bahwa kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi yang beroperasi di
alam area kelas sosial-ekonomi rendah yang buruk mendorong sebagian besar
penduduknya ke dalam pola tingkah laku kriminal. Posisi kelas ekonomi yang
tidak beruntung adalah penyebab utama dari kejahatan.
Teori ini
terbagi lagi menjadi tiga teori, yaitu Teori Disorganisasi Sosial, Teori
Ketegangan (strain theory), dan Teori Kejahatan Kultural.
Teori
Disorganisasi Sosial memiliki fokus pada kondisi di dalam lingkungan, di mana
terjadinya lingkungan yang buruk, kontrol sosial yang tidak memadai,
pelanggaran hukum oleh gang atau kelompok sosial tertentu, dan adanya
pertentangan nilai-nilai sosial.
Teori Ketegangan atau Strain Theory memiliki fokus terhadap suatu
konflik antara tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan distribusi kekayaan
dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi kalangan
tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang
dicita-citakan. Teori ini kemudian memiliki turunannya sendiri, yang disebut
sebagai Teori Anomi, yaitu teori yang memandang bahwa orang-orang memiliki
paham yang sama akan tujuan dari masyarakat, tetapi kekurangan cara untuk
mencapainya sehingga mencari jalan alternatif, seperti kejahatan. Teori
ini kemudian dapat menjelaskan angka kejahatan kelas bawah yang tinggi.
Teori
Kejahatan Kultural merupakan bentuk kombinasi dari dua teori sebelumnya
(disorganisasi sosial dan strain theory) yang secara bersama-sama
menghasilkan budaya kelas rendah yang unik dan bertentangan dengan norma-norma
sosial konvensional (sub cultural values in opposition to conventional
values). Subkultur ini kemudian membatasi diri dengan gaya hidup dan
nilai-nilai alternatif dan dianggap sebagai pelaku kejahatan (deviant)
oleh budaya normatif.
Teori
Struktur Sosial ini erat kaitannya dengan Perspektif Konsensus, yaitu tentang
nilai-nilai dan kesepakatan umum yang ada di dalam lingkungan sosial
masyarakat. Masyarakat hidup dalam norma-norma dan cara-cara yang telah
disepakati bersama untuk tercapainya tujuan. Namun, ketika terjadi suatu
kondisi frustasi terhadap norma atau aturan-aturan konvensional, seseorang atau
kelompok tertentu mencari cara lain yang bertentangan dengan norma dan aturan
yang ada, yang biasanya menjadi tingkah laku kejahatan. Pelanggaran hukum dalam
Perspektif Konsensus merupakan suatu hal yang unik. Dalam kaitannya dengan
teori ketegangan, terbentuknya sub kebudayaan kejahatan atau kelompok-kelompok
kelas rendah (subculture) adalah merupakan suatu representasi yang
mewakili hubungan sebab akibat yang unik tersebut.
2) Teori Pengendalian Sosial
Teori
Pengendalian Sosial adalah istilah yang merujuk kepada teori-teori yang
menjelaskan tingkat kekuatan keterikatan individu dengan lingkungan
masyarakatnya sebagai faktor yang mempengaruhi tingkah laku kejahatan.
Kejahatan dianggap sebagai hasil dari kekurangan kontrol sosial yang secara
normal dipaksakan melalui institusi-institusi sosial: keluarga, agama,
pendidikan, nilai-nilai dan norma-norma dalam suatu komunitas. Teori
Pengendalian Sosial dapat dibagi menjadi dua, yaitu Containment Theory
dan Social Bond Theory.
Containment
Theory yang
digagas oleh Reckless (1961) berpendapat bahwa terdapat beberapa cara
pertahanan bagi individu agar bertingkah laku selaras dengan nilai dan
norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Pertahanan tersebut dapat berasal
dari dalam (intern), yaitu berupa kemampuan seseorang melawan atau
menahan godaan untuk melakukan kejahatan serta memelihara kepatuhan terhadap norma-norma
yang berlaku. Ada juga pertahanan yang berasal dari luar (extern), yaitu
suatu susunan hebat yang terdiri dari tuntutan-tuntutan legal dan larangan-larangan
yang menjaga anggota masyarakat agar tetap berada dalam ikatan tingkah laku
yang diharapkan oleh masyrakatnya tersebut. Dengan demikan, kedua benteng
pertahanan ini (intern dan extern) bekerja sebagai pertahanan
terhadap norma sosial dan norma hukum yang telah menjadi kesepakatan bagi
masyarakat.
Social
Bond Theory
oleh Travis Hirschi, melihat bahwa seseorang dapat terlibat kejahatan karena
terlepas dari ikatan-ikatan dan kepercayaan-kepecayaan moral yang
seharusnya mengikat mereka ke dalam suatu pola hidup yang patuh kepada
hukum (Conklin, 1969). Ikatan sosial yang dimaksud oleh Hirschi ini terbagi ke
dalam empat elemen utama. Keempat elemen itu adalah (Bynum & Thompson,
1989) :
a) Attachment, yaitu ikatan sosial yang muncul
karena adanya rasa hormat terhadap orang lain.
b) Commitment, yaitu pencarian seorang individu
akan tujuan hidup yang ideal dan konvensional.
c) Involvement, yaitu keterlibatan individu di
dalam kegiatan konvensional dan patuh.
d) Belief, yaitu keyakinan atas nilai dan
norma sosial. Ikatan-ikatan sosial ini dibangun sejak masa kecil melalui
hubungan emosional alamiah dengan orang tua, guru, teman sebaya.
Berdasarkan
pengertian teori di atas, dapat dikatakan bahwa Teori Pengendalian Sosial
memiliki kesesuaian dengan Perspektif Konsensus yang menekankan kepada
kesepakatan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam
masyarakat. Individu tidak melakukan kejahatan karena adanya kesadaran untuk
tidak melanggar norma hukum yang telah menjadi kesepakatan umum di lingkungan sosialnya.
3) Teori Labeling
Menurut
Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang
mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya, individu
tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Oleh karena
itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat
yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah
laku mana yang layak.
Schrag
(1971), p. 89-91) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu
sebagai berikut:
1) Tidak ada satu perbuatan yang
terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
2) Rumusan batasan tentang kejahatan
dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki
kekuasaan.
3) Seseorang menjadi penjahat bukan
karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan demikan oleh
penguasa.
4) Sehubungan dengan kenyataan di mana
setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka
dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal.
5) Tindakan penangkapan merupakan awal
dari proses labeling.
6) Penangkapan dan pengambilan
keputusan dalam sistem peradilan pidana adalah fungsi dari pelaku/penjahat
sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7) Usia, tingkatan sosial-ekonomi dan
ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan
pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana.
8) Sistem peradilan pidana dibentuk
berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan
terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9) Labeling merupakan suatu proses yang
akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan sub-kultur
serta menghasilan “rejection of the rejector” (dikutip dari Hagan, 1989: p.
453-454)
Edwin
Lemert (1950) memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini,
yaitu primary deviance dan secondary deviance. Primary
deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal.
Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari
pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah
dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga
menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert
penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit
melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku
sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku
penyimpangan/penjahat).
Ilustrasi
singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja
keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang
dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling,
yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan
patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag,
penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut,
masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat
pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang
baru keluar dari penjara tersebut dengan masyarakatnya, dan interaksi itu
menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah
dunyatakan bebas.
Hal ini
kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental dan sisi psikologis
seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk
bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali
kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang
tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya
sebagai penjahat.
D. Tujuan
Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman,
maka pertanyaan yang kerap kali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah
yang berhak menjatuhkan hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang
berhak menghukum (hak puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah).
Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu
paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah
negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia
tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah
negara menjatuhkan hukuman dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh
pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan.
Jadi pada satu
pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap
serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang
pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan
apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum
itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak
kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang
menghukumnya. Maka oleh karena itu munculah berbagai teori hukuman, yang pada
garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :
1)
Teori Absolut
Tokoh-tokoh
yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekuensi
daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka
akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan
kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus
menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah
hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari
hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan
tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1) Perbuatan
yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan
etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
2.
Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh
dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3.
Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya
penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam
bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut
atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan
tiga unsur, yaitu :
1.
Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil
kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis' yang sentimentil.
Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka
bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka
lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3.
Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan demikian
teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman
itu sendiri. Adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan
disertai nafsu membalas.
2)
Teori Relatif
atau Teori Tujuan
Para
penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan
karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yang menjadi tujuan
penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang
lain daripada penghukuman itu sendiri.
Hukuman
mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori
relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan
pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi yang terhukum agar tidak mengulangi
pelanggaran. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat
prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan
menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Lalu dengan prevensi khusus para
penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang
yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnya
bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya
sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
3)
Teori Gabungan
Menurut
teori gabungan, hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan
mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan
pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua
unsur yang telah ada.
Penulis
yang pertama kali mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1848).
Sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa
beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia
berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan
suatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.
Teori
gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata
tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu adalah menjadi dasar dalam
penjatuhan pidana. Adapun teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua golongan
sebagai berikut :
1) Teori
gabungan yang pertama mengutamakan pada adanya pembalasan, tetapi pembalasan
itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankan tata tertib dalam masyarakat.
Menurut
pendapat Zenenbergen bahwa:
“Makna setiap pidana adalah suatu
pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata hukum, sebab pidana itu
adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada Hukum dan Pemerintahan”.
Menurut
Pompe, pidana adalah suatu pembalasan bagi penjahat, tetapi juga bertujuan
untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat
diselamatkan.
2) Teori
gabungan yang kedua ini menitikberatkan pada pidana yang bertujuan untuk
perlindungan terhadap tata-tertib masyarakat. Tetapi penderitaan atas
dijatuhinya pidana tersebut tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang
dilakukan oleh terpidana.
Menurut
pendapat Simons:
“Bahwa maksud dijatuhkan pidana
adalah ditujukan pada pencegahan umum dan pencegahan khusus, pencegahan umum terletak
pada ancaman pidananya dalam Undang-Undang, yang apabila hal ini tidak cukup
kuat dan tidak efektif dalam hal pencegahan umum, maka barulah diadakan
pencegahan khusus, yang terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki dan membikin
tidak berdayanya penjahat, pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan Hukum
dari masyarakat”.
E. Penutup
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan
istilah ‘politik kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas.
Menurut G. Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh
dengan :
a. Penerapan hukum
pidana (criminal law application)
b. Pencegahan
tanpa pidana (prevention without punishment)
c. Mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana kejahatan lewat mass media
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis
besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat
jalur 'non penal' (bukan/diluar hukum pidana). Secara kasar dapatlah dibedakan,
bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan
pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih
menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan
sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga
dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non
penal lebih bersifat
pencegahan
untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif
itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang
secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan
kejahatan.
KEPUSTAKAAN
1. Atmasasmita, Romli. Teori Dan
Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Eresco, 2004
2. Barda
Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
Semarang, 1991.
3. Bonger, W.A. (1977). Pengantar Tentang Kriminologi.
Diperbarui oleh Thomas. G. Kempe. Diterjemahkan oleh Koesnoen. Pembangunan
Ghalia, Jakarta: Indonesia, Cetakan ke-4.
4. Edwin
H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969.
5. Elliot, M.A. (1952). Crime in Modern Society. 1st
Edition. New York: Harper Brother.
6. Gerson
W. Bawengan, Pengantar Psychologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta,
1977.
7. Reid, S.T. (1988). Crime and Criminology. Fifth
Edition. New York, USA: Holt Rinehart and Winston, Inc.
8. Sutherland, E.H dan Cressey, D. (1960). Principles
of Criminology. Fifth Edition. Lippincot Company.
9. Mulyana
W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas),
Armico Bandung, 1984.
10. Soedjono
D., Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (Crime Pervention),
Alumni, Bandung, 1970.