Total Tayangan Halaman

Sabtu, 17 Agustus 2013

KEJAHATAN dan PENJAHAT

A.      Pendahuluan
Kejahatan adalah suatu nama atau cap yang diberikan orang untuk menilai perbuatan- perbuatan tertentu, sebagai perbuatan jahat. Dengan demikian maka si pelaku disebut sebagai penjahat. Diatur dalam Statuta Roma dan diadopsi dalam Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang pengadilan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia. Menurut UU tersebut dan juga sebagaimana diatur dalam pasal 7 Statuta Roma, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ialah Perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.
Selain itu ada juga beberapa definisi tentang kejahatan menurut para ahli, diantaranya :
1. Menurut B. Simandjuntak, kejahatan merupakan suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
2. Menurut Van Bammelen, kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan tersebut.
3. Menurut R. Soesilo, ia membedakan pengertian kejahatan secara yuridis dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi yuridis, pengertian kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undang- undang. Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan ketertiban.
4. Menurut J.M. Bemmelem, ia memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.
5. Menurut M.A. Elliot, ia mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.
6. Menurut W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian penderitaan.
7. Menurut Paul Moedikdo Moeliono, kejahatan adalah perbuatan pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).
Perkembangan dan peningkatan kejahatan disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.

B.       Klasifikasi Kejahatan
Dalam menjelaskan latar belakang terjadinya kejahatan, Ada empat pendekatan untuk menjelaskannya, yaitu :
1. Pendekatan biogenik, yaitu suatu pendekatan yang mencoba menjelaskan sebab atau sumber kejahatan berdasarkan faktor-faktor dan proses biologis.
2. Pendekatan psikogenik, yang menekankan bahwa para pelanggar hukum memberi respons terhadap berbagai macam tekanan psikologis serta masalah-masalah kepribadian yang mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.
3. Pendekatan sosiogenik, yang menjelaskan kejahatan dalam hubungannya dengan proses-proses dan struktur-struktur sosial yang ada dalam masyarakat atau yang secara khusus dikaitkan dengan unsur-unsur di dalam sistem budaya.
4. Pendekatan tipologis, yang didasarkan pada penyusunan tipologi penjahat dalam hubungannya dengan peranan sosial pelanggar hukum, tingkat identifikasi dengan kejahatan, konsepsi diri, pola persekutuan dengan orang lain yang penjahat atau yang bukan penjahat, kesinambungan dan peningkatan kualitas kejahatan, cara melakukan dan hubungan perilaku dengan unsur-unsur kepribadian serta sejauh mana kejahatan merupakan bagian dari kehidupan seseorang.
Menurut Marshall B. Clinard dan Richard Quinney membagi bentuk kejahatan menjadi memberikan 8 tipe, yaitu :
1)   Kejahatan perorangan dengan kekerasan yang meliputi bentuk-bentuk perbuatan kriminil seperti pembunuhan dan perkosaan. Pelaku tidak menganggap dirinya sebagai penjahat dan seringkali belum pemah melakukan kejahatan tersebut sebelumnya, melainkan karena keadaan-keadaan tertentu yang memaksa mereka melakukannya.
2)   Kejahatan terhadap harta benda yang dilakukan sewaktu-waktu, termasuk kedalamnya antara lain pencurian kendaraan bermotor. Pelaku tidak selalu memandang dirinya sebagai penjahat dan mampu memberikan pembenaran atas perbuatannya.
3)   Kejahatan yang dilakukan dalam pekerjaan dan kedudukan tertentu yang pada umumnya dilakukan oleh orang yang berkedudukan tinggi. Pelaku tidak memandang dirinya sebagai penjahat dan memberikan pembenaran bahwa kelakuannya merupakan bagian dari pekerjaan sehari-hari.
4)   Kejahatan politik yang meliputi pengkhianatan spionase, sabotase dan sebagainya. Pelaku melakukannya apabila mereka merasa perbuatan ilegal itu sangat penting dalam mencapai perubahan-perubahan yang diinginkan dalam masyarakat.
5)   Kejahatan terhadap ketertiban umum. Pelanggar hukum memandang dirinya sebagai penjahat apabila mereka terus-menerus ditetapkan oleh orang lain sebagai penjahat, misalnya pelacuran. Reaksi sosial terhadap pelanggaran hukum ini bersifat informal dan terbatas.
6)   Kejahatan konvensional yang meliputi antara lain perampokan dan bentuk-bentuk pencurian terutama dengan kekerasan dan pemberatan. Pelaku menggunakannya sebagai part time-Carreer atau pekerjaan sampingan dan seringkali untuk menambah penghasilan dari kejahatan. Perbuatan ini berkaitan dengan tujuan-tujuan sukses ekonomi, akan tetapi dalam hal ini terdapat reaksi dari masyarakat karena nilai kepemilikan pribadi telah dilanggar.
7)   Kejahatan terorganisasi yang dapat meliputi antara lain pemerasan, pelacuran, perjudian terorganisasi serta pengedaran narkotika dan sebagainya. Pelaku yang berasal dari tingkat jabatan kelas bawah memandang dirinya sebagai penjahat dan terutama mempunyai hubungan dengan kelompok-kelompok penjahat, yang juga terasing dari masyarakat luas, sedangkan tingkat jabatan kelas atas tidak berbeda dengan warga masyarakat lain dan bahkan seringkali bertempat tinggal di lingkungan masyarakat pada umumnya.
8)   Kejahatan profesional yang dilakukan sebagai suatu cara hidup seseorang. Mereka memandang diri sendiri sebagai penjahat dan bergaul dengan penjahat-penjahat lain serta mempunyai status tinggi dalam dunia kejahatan. Mereka cenderung terasing dari masyarakat luas serta menempuh suatu karir penjahat. Reaksi masyarakat terhadap kejahatan ini tidak selalu keras.

C.      Teori Kejahatan
Dalam memahami kejahatan sekarang ini, Kriminologi Modern menjelaskan tiga teori tentang kejahatan, antara lain :
1)    Teori Struktur Sosial
Para pakar kriminolog meyakini bahwa kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi yang beroperasi di alam area kelas sosial-ekonomi rendah yang buruk mendorong sebagian besar penduduknya ke dalam pola tingkah laku kriminal. Posisi kelas ekonomi yang tidak beruntung adalah penyebab utama dari kejahatan.
Teori ini terbagi lagi menjadi tiga teori, yaitu Teori Disorganisasi Sosial, Teori Ketegangan (strain theory), dan Teori Kejahatan Kultural.
Teori Disorganisasi Sosial memiliki fokus pada kondisi di dalam lingkungan, di mana terjadinya lingkungan yang buruk, kontrol sosial yang tidak memadai, pelanggaran hukum oleh gang atau kelompok sosial tertentu, dan adanya pertentangan nilai-nilai sosial.
Teori Ketegangan atau Strain Theory memiliki fokus terhadap suatu konflik antara tujuan dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Hal ini terjadi karena adanya ketidakseimbangan distribusi kekayaan dan kekuatan (kekuasaan). Kondisi seperti ini menyebabkan frustasi bagi kalangan tertentu sehingga berusaha mencari cara alternatif untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan. Teori ini kemudian memiliki turunannya sendiri, yang disebut sebagai Teori Anomi, yaitu teori yang memandang bahwa orang-orang memiliki paham yang sama akan tujuan dari masyarakat, tetapi kekurangan cara untuk mencapainya sehingga mencari jalan alternatif, seperti kejahatan.  Teori ini kemudian dapat menjelaskan angka kejahatan kelas bawah yang tinggi.
Teori Kejahatan Kultural merupakan bentuk kombinasi dari dua teori sebelumnya (disorganisasi sosial dan strain theory) yang secara bersama-sama menghasilkan budaya kelas rendah yang unik dan bertentangan dengan norma-norma sosial konvensional (sub cultural values in opposition to conventional values). Subkultur ini kemudian membatasi diri dengan gaya hidup dan nilai-nilai alternatif dan dianggap sebagai pelaku kejahatan (deviant) oleh budaya normatif.
Teori Struktur Sosial ini erat kaitannya dengan Perspektif Konsensus, yaitu tentang nilai-nilai dan kesepakatan umum yang ada di dalam lingkungan sosial masyarakat. Masyarakat hidup dalam norma-norma dan cara-cara yang telah disepakati bersama untuk tercapainya tujuan. Namun, ketika terjadi suatu kondisi frustasi terhadap norma atau aturan-aturan konvensional, seseorang atau kelompok tertentu mencari cara lain yang bertentangan dengan norma dan aturan yang ada, yang biasanya menjadi tingkah laku kejahatan. Pelanggaran hukum dalam Perspektif Konsensus merupakan suatu hal yang unik. Dalam kaitannya dengan teori ketegangan, terbentuknya sub kebudayaan kejahatan atau kelompok-kelompok kelas rendah (subculture) adalah merupakan suatu representasi yang mewakili hubungan sebab akibat yang unik tersebut.
2)    Teori Pengendalian Sosial
Teori Pengendalian Sosial adalah istilah yang merujuk kepada teori-teori yang menjelaskan tingkat kekuatan keterikatan individu dengan lingkungan masyarakatnya sebagai faktor yang mempengaruhi tingkah laku kejahatan. Kejahatan dianggap sebagai hasil dari kekurangan kontrol sosial yang secara normal dipaksakan melalui institusi-institusi sosial: keluarga, agama, pendidikan, nilai-nilai dan norma-norma dalam suatu komunitas. Teori Pengendalian Sosial dapat dibagi menjadi dua, yaitu Containment Theory dan Social Bond Theory.
Containment Theory yang digagas oleh Reckless (1961) berpendapat bahwa terdapat beberapa cara pertahanan bagi individu agar bertingkah laku selaras dengan nilai dan norma-norma yang ada di dalam masyarakat. Pertahanan tersebut dapat berasal dari dalam (intern), yaitu berupa kemampuan seseorang melawan atau menahan godaan untuk melakukan kejahatan serta memelihara kepatuhan terhadap norma-norma yang berlaku. Ada juga pertahanan yang berasal dari luar (extern), yaitu suatu susunan hebat yang terdiri dari tuntutan-tuntutan legal dan larangan-larangan yang menjaga anggota masyarakat agar tetap berada dalam ikatan tingkah laku yang diharapkan oleh masyrakatnya tersebut. Dengan demikan, kedua benteng pertahanan ini (intern dan extern) bekerja sebagai pertahanan terhadap norma sosial dan norma hukum yang telah menjadi kesepakatan bagi masyarakat.
Social Bond Theory oleh Travis Hirschi, melihat bahwa seseorang dapat terlibat kejahatan karena terlepas dari ikatan-ikatan dan kepercayaan-kepecayaan moral yang  seharusnya mengikat mereka ke dalam suatu pola hidup yang patuh kepada hukum (Conklin, 1969). Ikatan sosial yang dimaksud oleh Hirschi ini terbagi ke dalam empat elemen utama. Keempat elemen itu adalah (Bynum & Thompson, 1989) :
a)    Attachment, yaitu ikatan sosial yang muncul karena adanya rasa hormat terhadap orang lain.
b)   Commitment, yaitu pencarian seorang individu akan tujuan hidup yang ideal dan konvensional.
c)    Involvement, yaitu keterlibatan individu di dalam kegiatan konvensional dan patuh.
d)   Belief, yaitu keyakinan atas nilai dan norma sosial. Ikatan-ikatan sosial ini dibangun sejak masa kecil melalui hubungan emosional alamiah dengan orang tua, guru, teman sebaya.
Berdasarkan pengertian teori di atas, dapat dikatakan bahwa Teori Pengendalian Sosial memiliki kesesuaian dengan Perspektif Konsensus yang menekankan kepada kesepakatan nilai-nilai dan kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Individu tidak melakukan kejahatan karena adanya kesadaran untuk tidak melanggar norma hukum yang telah menjadi kesepakatan umum di lingkungan sosialnya.
3)    Teori Labeling
Menurut Frank Tannenbaum (1938), kejahatan bukan sepenuhnya dikarenakan individu kurang mampu menyesuaikan diri dengan kelompik, tetapi dalam kenyataannya, individu tersebut telah dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan kelompoknya. Oleh karena itu, kejahatan terjadi karena hasil konflik antara kelompok dengan masyarakat yang lebih luas, di mana terdapat dua definisi yang bertentangan tentan tingkah laku mana yang layak.
Schrag (1971), p. 89-91) memberikan simpulan atas asumsi dasar teori labeling, yaitu sebagai berikut:
1)    Tidak ada satu perbuatan yang terjadi dengan sendirinya bersifat kriminal.
2)    Rumusan batasan tentang kejahatan dan penjahat dipaksakan sesuai dengan kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan.
3)    Seseorang menjadi penjahat bukan karena ia melanggar undang-undang, melainkan karena ia ditetapkan demikan oleh penguasa.
4)    Sehubungan dengan kenyataan di mana setiap orang dapat berbuat baik atau tidak baik, tidak berarti bahwa mereka dapat dikelompokkan menjadi dua bagian kelompok: kriminal dan non-kriminal.
5)    Tindakan penangkapan merupakan awal dari proses labeling.
6)    Penangkapan dan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana adalah fungsi dari pelaku/penjahat sebagai lawan dari karakteristik pelanggarannya.
7)    Usia, tingkatan sosial-ekonomi dan ras merupakan karateristik umum pelaku kejahatan yang menimbulkan perbedaan pengambilan keputusan dalam sistem peradilan pidana.
8)    Sistem peradilan pidana dibentuk berdasarkan perspektif kehendak bebas yang memperkenankan penilaian dan penolakan terhadap mereka yang dipandang sebagai penjahat.
9)    Labeling merupakan suatu proses yang akan melahirkan identifikasi dengan citra sebagai deviant dan sub-kultur serta menghasilan “rejection of the rejector” (dikutip dari Hagan, 1989: p. 453-454)
Edwin Lemert (1950)  memberikan perbedaan mengenai konsep teori labeling ini, yaitu primary deviance dan secondary deviance. Primary deviance ditujukan kepada perbuatan penyimpangan tingkah laku awal. Kelanjutan dari penyimpangan ini berkaitan dengan reorganisasi psikologis dari pengalaman seseorang karena cap yang dia terima dari perbuatan yang telah dilakukan. Ketika label negatif diterapkan begitu umum dan begitu kuat sehingga menjadi bagian dari identitas yang individual, ini yang kemudian diistilahkan Lemert penyimpangan sekunder. Individu yang telah mendapatkan cap tersebut sulit melepaskan diri dari cap yang dimaksud dan cenderung untuk bertingkah laku sesuai dengan label yang diberikan (mengidentifikasi dirinya sebagai pelaku penyimpangan/penjahat).
Ilustrasi singkat yang dapat lebih menjelaskan teori ini adalah seseorang yang baru saja keluar dari penjara. Ketika dia menjalani hukuman penjara karena perbuatan yang dia lakukan di masa lalu, sesungguhnya dia telah mengalami proses labeling, yaitu keputusan dari penguasan yang menyatakan bahwa dia adalah penjahat dan patut untuk dihukum penjara (sesuai ketentuan yang diutarakan oleh Schrag, penangkapan adalah proses labeling). Setelah keluar dari penjara tersebut, masyarakat akan tetap menilainya sebagai penjahat karena cap yang telah melekat pada dirinya (sulit melepaskan label). Terjadi interaksi antara individu yang baru keluar dari  penjara tersebut dengan masyarakatnya, dan interaksi itu menghasilkan kesimpulan bahwa dia dicap sebagai penjahat meskipun sudah dunyatakan bebas.
Hal ini kemudian akan berpengaruh kepada kehidupan, mental dan sisi psikologis seseorang tersebut, yang kemudian menghambat karir atau usahanya untuk bertahan, seperti misalnya sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatkan kembali kepercayaan dari orang-orang. Dampak seperti ini kemudian menyebabkan seseorang tersebut akhirnya mengulangi perbuatannya dan akhirnya mendidentifikasi dirinya sebagai penjahat.

D.      Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang kerap kali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak menjatuhkan hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak menghukum (hak puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah). Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan.
Jadi pada satu pihak pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh karena itu munculah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat dibagai atas tiga golongan :
1)   Teori Absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu adalah suatu konsekuensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah hukuman itu bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1)   Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis' yang sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu, dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan demikian teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai pada hukuman itu sendiri. Adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab dipengaruhi dan disertai nafsu membalas.
2)   Teori Relatif atau Teori Tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan, dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yang menjadi tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri.
Hukuman mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi yang terhukum agar tidak mengulangi pelanggaran. Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Lalu dengan prevensi khusus para penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya. Selanjutnya bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
3)   Teori Gabungan
Menurut teori gabungan, hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi dengan menitikberatkan pada salah satu unsurnya tanpa menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
Penulis yang pertama kali mengajukan teori gabungan ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1848). Sekalipun ia tetap menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun dia berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan suatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu adalah menjadi dasar dalam penjatuhan pidana. Adapun teori gabungan ini dapat dibagi menjadi dua golongan sebagai berikut :
1)   Teori gabungan yang pertama mengutamakan pada adanya pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankan tata tertib dalam masyarakat.
Menurut pendapat Zenenbergen bahwa:
“Makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata hukum, sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan pada Hukum dan Pemerintahan”.
Menurut Pompe, pidana adalah suatu pembalasan bagi penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan.
2)   Teori gabungan yang kedua ini menitikberatkan pada pidana yang bertujuan untuk perlindungan terhadap tata-tertib masyarakat. Tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tersebut tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.
Menurut pendapat Simons:
“Bahwa maksud dijatuhkan pidana adalah ditujukan pada pencegahan umum dan pencegahan khusus, pencegahan umum terletak pada ancaman pidananya dalam Undang-Undang, yang apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam hal pencegahan umum, maka barulah diadakan pencegahan khusus, yang terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki dan membikin tidak berdayanya penjahat, pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan Hukum dari masyarakat”.

E.       Penutup
Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa disebut dengan istilah ‘politik kriminal' dapat meliputi ruang lingkup yang cukup luas. Menurut G. Peter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :
a.    Penerapan hukum pidana (criminal law application)
b.    Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment)
c.    Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pidana kejahatan lewat mass media
Dengan demikian upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur 'penal' (hukum pidana) dan lewat jalur 'non penal' (bukan/diluar hukum pidana). Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal lebih menitikberatkan pada sifat represif sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan secara kasar, karena tindakan represif pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas.
Mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non penal lebih bersifat pencegahan untuk terjadinya kejahatan, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan.
KEPUSTAKAAN

1.    Atmasasmita, Romli. Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT Eresco, 2004
2.    Barda Nawawi Arief, Upaya Non Penal Dalam Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang, 1991.
3.    Bonger, W.A. (1977). Pengantar Tentang Kriminologi. Diperbarui oleh Thomas. G. Kempe. Diterjemahkan oleh Koesnoen. Pembangunan Ghalia, Jakarta: Indonesia, Cetakan ke-4.
4.    Edwin H. Sutherland, Asas-Asas Kriminologi, Alumni, Bandung, 1969.
5.    Elliot, M.A. (1952). Crime in Modern Society. 1st Edition. New York: Harper Brother.
6.    Gerson W. Bawengan, Pengantar Psychologi Kriminil, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977.
7.    Reid, S.T. (1988). Crime and Criminology. Fifth Edition. New York, USA: Holt Rinehart and Winston, Inc.
8.    Sutherland, E.H dan Cressey, D. (1960). Principles of Criminology. Fifth Edition. Lippincot Company.
9.    Mulyana W. Kusumah, Kriminologi dan Masalah Kejahatan (Suatu Pengantar Ringkas), Armico Bandung, 1984.

10.    Soedjono D., Konsepsi Kriminologi Dalam Usaha Penanggulangan Kejahatan (Crime Pervention), Alumni, Bandung, 1970.